Blog milik Ria Rochma, blogger Gresik, Jawa Timur. Tulisan tentang parenting, gaya hidup, wisata, kecantikan, dan tips banyak ditulis di sini.

Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Tentang Event J50K dan Tips Menulis untuk Mengikutinya

| on
Senin, Februari 03, 2014
credit
Menulis sebanyak 50.000 kata selama sebulan? Mungkinkah? Oh, mungkin saja. Meskipun saya masih meragukan untuk menulis sebanyak itu dalam waktu sebulan. Masa banyak sih? Eits, 50.000 kata itu sangat banyak sekali lho! Masa sih? Kan kita biasa bikin artikel di blog sebanyak 700-1500 kata sehari. Ya, ya, ya, itu kalau di blog lho ya. Syukur-syukur kalau nulis di blognya tiap hari dengan jumlah segitu, pasti 50.000 kata tercapai. Tapi, kadang kitanya ini luput mau nulis blog tiap hari karena sibuknya aktifitas kita di dunia nyata.

Dan, Kampung Fiksi mengadakan event tiap tahun buat menulis 50.000 kata setiap bulan Januari. Akhirnya, nama J50K muncullah sejak tiga tahun yang lalu. Saya, sudah ikutan selama 2 tahun ini. Tapi selalu saja gagal buat capai goal. 2 tahun yang lalu, gagal total karena saya nggak buat draft meskipun niatnya hanya mau membuat kumpulan cerpen. Meskipun membuat cerpen tiap hari, tapi perlu kumpulan ide dan plot sederhana supaya pengerjaannya mudah. Dan saya melewatkan proses itu.

Dan tahun ini, saya gagal lagi. Berhenti di 24.985 kata. Plot yang sudah saya siapkan, tidak bisa saya selesaikan. Konflik antar tokoh, juga belum ada jalan keluarnya. Proses editing? Apalagi itu, belum sama sekali karena naskahnya belum kelar.
Itu tuh, total kata yang saya dapatkan :)


Ada rasa menyesal karena tidak menyelesaikan goal saya tahun ini. Tapi bagaimana lagi? Selama seminggu, saya dan Arya sama-sama terkapar karena batuk pilek. Belum lagi, di awal Januari, saya membantu ibu mengurus pernikahan adik. Ah, itu semua adalah sebagian alasan kenapa saya gagal capai goal. Alasan lain? Karena ada masalah pribadi yang harus diselesaikan. Akhirnya, saya harus puas capai 24.985 kata dan harus mampu mencari-cari penyebab saya nggak bisa konsisten menulis. Hihi..

Baiklah, baiklah, saya tidak akan meratapi nasib karena tidak bisa capai goal *saya nggak mau menangis berdarah-darah*. Lebih baik, saya bagi tips menulis buat pembaca tulisan saya ini, yang berniat tahun depan ikutan J50K. Check it out!

1. Siapkan niat yang teguh untuk menulis 50.000 kata selama sebulan. Niat, niat, niat! Apalagi sih kalau nggak niat? Kalau kitanya setengah-setengah, nggak akan tuh selesain goal kita.

2. Siapkan draft dan hasil riset sebelum Januari. Kalau kita memang mau buat sebuah novel atau kumpulan cerpen, siapkan draft yang sudah matang betul sebelum Januari itu. Dan riset sudah kita lakukan setelah draft itu selesai. Kalau kita garap draft dan riset bersamaan dengan menulis saat even J50K, bisa jadi kitanya malah keteteran dan target nggak akan terselesaikan.

3. Sediakan waktu khusus untuk menulis. Memang ada beberapa orang yang kalau menulis bisa kapan saja. Tapi lebih efektif lagi kalau menulisnya itu terjadwal dan tidak menganggu aktifitas sehari-hari. Sebagai tambahan, kita bisa menulis di waktu-waktu longgar. Misalnya, setelah makan siang, saat pekerjaan rumah tangga selesai semua, atau sambil nungguin suami pulang kerja. 

4. Selalu jaga kesehatan. Ini terbukti sekali! Kalau kesehatan kita terganggu, mikir aja susah. Apalagi mau lanjutin tulisan kita?

5. Selalu sediakan antangin untuk antisipasi masuk angin. Hahaha, serius lho! Apalagi yang punya jadwal nulis dini hari macam saya. Menulis setelah menidurkan Arya sambil nunggu Papa pulang, atau bangun dini hari jam 3 pagi untuk melanjutkan menulis, harus benar-benar melawan hawa dingin Januari yang sok-sok romantis itu.

6. Kopi! Saya suka kopi yang dingin, meskipun nggak selalu tiap hari saya minumnya. Lawan kantuk dengan kopi memang efektif. Itu sudah trik lama bagi penulis. Hayhay..

7. Jangan ngemil. Walah, ngemil saat menulis itu nggak ampuh buat saya, Sodara! Yang ada, malah ngemil terus dan saking asyiknya akhirnya tulisannya terbengkalai. Trus kalimat-kalimat yang melayang-melayang di otak itu hilang seketika.

8. Menulis status di facebook tentang J50K dan tetek bengek keberhasilan kita, boleh-boleh saja kok. Nantinya, komentar teman-teman itu akan membakar semangat kita. Apalagi kalau sudah di minggu-minggu terakhir, semangat kita kadang sudah menurun.

9. Jangan baca buku saat proses menulis. Ini akan mempengaruhi pembentukan karakter tokoh kita. Karakter tokoh yang sudah kita draft sebelumnya, secara tidak sadar akan terpengaruh juga dari karakter tokoh di novel yang kita baca. Apalagi kalau novel yang kita baca itu ternyata apik dan membekas di hati. 

10. Lanjutkan menulis berapapun jumlah kata yang kita dapatkan. Sudah, jangan pedulikan itu jumlahnya masih sedikit atau sudah banyak. Tulis saja. Mumpung kalimat-kalimat itu masih terbang di otak.

11. Kalau tidak selalu bertemu laptop atau komputer, kita bisa pakai ponsel atau menulis di kertas. Mungkin ada yang kurang terbiasa menulis di ponsel atau malah mengetik ulang tulisan yang ada di kertas. Tapi, lagi-lagi ya, supaya kalimat-kalimat di otak itu segera tertuangkan dan tidak kabur.

Oke, oke. Mungkin begitu saja cerita dari saya tentang J50K dan tips dari saya untuk siapa saja yang mau ikutan J50K tahun depan. Silahkan digunakan kalau itu cocok dengan gaya menulisnya kalian. Yang penting adalah teguhkan niat lalu menulis. Biarpun isi tulisan itu banyak sampahnya, nanti kan ada proses editing kalau naskah kita mau dikirim ke penerbit.

Yuk, selamat menulis.

Salam kreatif,
Miss Rochma.

(Cerfet #MFF1) : Bumerang Masa Lalu

| on
Selasa, November 12, 2013
credit

Cerita sebelumnya ya ^^

**
Alya melajukan mobilnya dengan kencang, tak peduli dengan kondisi jalan yang tak sepi. Yang ada dipikirannya sekarang adalah menceritakan segala gelisah yang tertoreh di ruang hatinya kepada neneknya. Nenek Malinda. Hanya pada Malinda dia bisa terbuka, hanya pada Malinda dia menceritakan segala rahasia yang dia punya. Malinda adalah sosok pelindung yang bijak, disiplin dan terbuka. Sesibuk apapun dia dengan usaha konveksinya, Malinda selalu memiliki waktu untuk Alya.

Setelah Alya memarkirkan mobilnya, bergegas dia menuju dalam rumah dengan setengah berlari. Tanpa salam, tanpa sapaan, dia langsung memeluk Malinda yang sedari tadi menanti di sofa panjang di ruang tamu. Air matanya berlomba turun ke pipi, badannya lunglai benar karena hati yang terlalu patah oleh cinta. Malinda tak bertanya ada apa dengan cucu perempuan satu-satunya ini. Yang dia lakukan hanyalah menunggu Alya menceritakan keluh kesahnya.

"Nek, apakah sesakit ini patah hati itu?"

Malinda tak menyangka Alya akan menanyakan pertanyaan yang dulu pernah dia tanyakan pula pada dirinya sendiri. Untuk sekian detik dia diam, tak berusaha memberikan jawaban apapun. Karena yang dia pahami selama ini adalah patah hati itu sungguh amat menyakitkan bahkan setelah berlalu berpuluh-puluh tahun lamanya.

"Nek?"

"Ah iya." Malinda tersadar dari lamunan masa lalunya. "ada apa, Sayang?"

"Aku sudah siap cerita semuanya ke Nenek." Alya menghapus air matanya dan membetulkan posisi duduknya yang bersebelahan dengan Malinda.

"Minumlah dulu, Sayang." Malinda menyodorkan segelas air putih pada Alya. Cepat-cepat diteguk air dalam gelas itu hingga hampir habis. Malinda tersenyum, mengambil gelas dari tangan Alya dan meletakkannya kembali di meja.

"Apa yang mau kamu ceritakan, Sayang?" tanya Malinda sambil mengelus punggung cucunya.

"Nek, aku jatuh cinta."

Malinda tersenyum. "Dengan siapa? Ganteng nggak?"

Alya geli dengan pertanyaan neneknya, tak ayal membuat dia tersenyum pula. "Ganteng kok. Pintar pula," jawabnya dengan tersipu.

"Lalu, apa yang diperbuat si ganteng sampai cucu Nenek ini bisa patah hati?" tanya Malinda dengan halus tapi tetap penuh selidik.

Mimik wajah Alya berubah seketika saat neneknya bertanya tentang patah hat iyang dialaminya sekarang. Dia mencoba tenang, tak lagi seemosi tadi. Tangis sudah tak lagi mewarnai ceritanya kali ini. Disampaikan semua yang ada dalam pikirannya, semua yang dia alami, semua yang terjadi, serta semua kemungkinan-kemungkinan yang menjadi momok tersendiri baginya. Tanpa jeda, tanpa ragu.

Malinda tak bisa menutupi kaget yang menyetrum sendi-sendi di tubuhnya. Cerita tentang cinta Alya, seolah menjadi pelengkap atas apa yang dia alami berpuluh-puluh tahun silam dalam keluarga yang dia bina dengan suaminya, Nanda. Perceraian yang dia kira menjadi jalan keluar atas kerumitan masalah rumah tangganya, ternyata malah menjadi bumerang bagi dirinya sekarang. Tuhan ternyata tak hanya mengujinya dulu kala, tetapi juga saat ini, di saat usianya sudah sangat senja.

"Nenek, aku harus bagaimana? Aku cinta sekali pada Rio, jangan sampai mereka menjadi satu." Pertanyaan Alya membubarkan lamunan Malinda.

"Tapi aku pun tak ingin jadi anak durhaka. Aku pun mengerti bahwa Mama tak selamanya dia memilih untuk sendiri."

Malinda diam, tak bisa menjawab. Mulutnya masih kelu, mengatur kalimat apa yang hendak dia sampaikan pada Alya. Keraguan muncul dalam benaknya untuk membantu masalah Alya karena dia sendiri butuh bantuan untuk menegarkan hatinya.

"Nek.."

"Ya Sayang? Maaf, Nenek nggak fokus."

Alya menyadari perubahan mimik wajah neneknya. Ada sedikit ruang kosong dalam mata neneknya yang membawanya entah menuju kemana.

"Nenek tidak apa-apa?" Alya mulai khawatir dengan kondisi Malinda, mencoba mengalihkan sejenak masalahnya dan bertanya tentang kondisi neneknya.

"Ah tidak. Tidak apa-apa." Malinda menjawab dengan terbata-bata dan senyum yang dipaksa. Tapi siang ini, dia harus berkonsentrasi pada masalah cucunya dan tak ingin masa lalu menguasai emosinya.

"Alya, ada baiknya kamu pulang dulu. Kasihan Mamamu. Tak baik perawan lama-lama di luar rumah, apalagi pergi tanpa ijin."

"Tapi Nek.."

Malinda meremas jemari Alya dengan lembut. "Pulanglah. Baik-baiklah dengan Mamamu. Karena hanya kamu yang dia punya."

Alya diam, tak bisa protes dengan perintah neneknya. Benar memang, tak pernah dia semarah ini pada mamanya karena mereka berdua selalu saling menguatkan. Karena mereka hanya berdua.

Alya diam. Beberapa saat kemudian dia mengambil tas yang dia jatuhkan sekenanya tadi. "Ya, lebih baik aku pulang," ucapnya sebelum meninggalkan neneknya.

***

Malinda menekan sebuah nomor yang sudah lama tak dia hubungi, sejak hakim mengabulkan permohonan perceraiannya.

"Hadi, bisa bantu aku?"

"Masih ingat dengan Kinansih? Ya.. yang itu."

Sebentar Malinda mengambil nafas sebelum mengungkap maksudnya.

"Oh iya, ya. Maaf, aku sedikit kalut sekarang," ucap Malinda gagap. "Bisakah kamu mencarikanku informasi tentang Kinansih dan anaknya?"

"Apa saja, semuanya."

Malinda tampak mengangguk-angguk. Lantas bersuara dengan gembira. "Ah, aku tahu umurmu memang sudah tak lagi muda. Tak apa kalau kamu limpahkan tugas ini pada anakmu."

"Oke, kutunggu tak lebih dari lima hari."

Dan Malinda mengakhiri teleponnya. Dia sunguh percaya, bahwa apapun infornasi yang nantinya dia dapat dari Hadi -atau mungkin dari anaknya Hadi- akan menjadi jalan keluar untuk masalah Alya.

[Cerpen] Aku Memilih Kembali

| on
Selasa, Oktober 29, 2013

credit
Namaku Dino. Profesiku, penghibur. Oh tidak, bukan penghibur macam wanita-wanita yang dipajang di dinding kaca dengan baju minim. Tapi aku adalah badut yang menghibur penonton dengan gayaku.



Tak sengaja sebenarnya aku berprofesi ini. Aku adalah lulusan SMA jurusan IPS dan sampai sebelum aku menjadi badut, aku menganggur. Kupikir dulu aku bisa melanjutkan kuliah, karena aku pintar dan aku yakin Abah akan mengabulkan keinginanku. Tapi ternyata Tuhan menggariskan berbeda. Abah meninggal dan kami kehilangan pemasukan utama keluarga karena saat Abah masih hidup, ibu memilih tidak bekerja meskipun seringkali banyak tawaran di pabrik-pabrik rokok lokal. Aku? Harus menelan kecewa karena tidak jadi kuliah daripada dua adikku tidak sekolah.



Dan perusahaan mana sih yang mau menerima SMA jurusan IPS? Kalau kerja tidak borongan di pabrik-pabrik kecil, mana bisa aku jadi karyawan. Ibu melarang, karena fisikku lemah, mudah sakit. Kalau aku sakit, maka akan ada pengeluaran tambahan untuk obat. Dan itu memberatkan ibu yang sekarang bekerja sebagai tukang cuci di sebuah agen laundry.



Berbulan-bulan aku menganggur. Hingga suatu hari tanpa sengaja aku bertemu mas Fajar, kakak kelasku dulu, di sebuah bangku panjang di depan SMA kami. Dia dan seorang temannya sedang duduk menikmati minuman dingin. Mereka membawa tiga tas besar, yang tampaknya tak akan kuat mereka bawa berdua.



"Mas Fajar!” sapaku di seberang jalan. Kuhampiri dia lantas kami bersalaman.



"Dari mana, Mas? Bawaannya banyak sekali," tanyaku sambil menunjuk tiga tas berwarna hitam.



"Ada job di Manyar," jawab mas Fajar. Mendengar kata 'job', aku langsung bereaksi positif. Segera aku duduk di samping mas Fajar.



"Job apa, Mas?"



"Jadi badut,"



Kukernyit alis mendengar kata 'badut'. Dan tampaknya mas Fajar mengerti bahasa tubuhku tadi.



"Aku sudah sering lihat orang heran kenapa aku mau jadi badut," kata mas Fajar sambil menghabiskan minumannya. Teman di sampingnya malah tertawa. "Nggak akan ada yang salah dengan menjadi badut, Dino."



Lantas mas Fajar menjelaskan tentang profesinya. Dia sebenarnya bekerja dengan tiga orang. Satu yang sedang bersamanya, dua lainnya sedang menerima job di lokasi lain. Mereka memilih untuk bekerja sendiri dan tidak tergabung dalam sebuah sanggar kesenian. Mereka menyebarkan sendiri leaflet petunjuk panggilan sewa, mematok harganya dan membagi empat hasilnya, merancang sendiri penampilan yang menarik perhatian penonton dan belajar gerakan-gerakan unik dari internet. Setelah berbicara banyak dengan mas Fajar, terungkap kalau mereka kekurangan orang karena semakin banyaknya panggilan sewa jasa mereka.



Lalu aku memilih bergabung dengan mereka. Dan sejak itulah orang kampung memanggilku Dino si hidung bulat.



Menjadi badut menyenangkan. Meskipun kadang kami gerah dengan kostum yag berat dan membuat kami sangat berkeringat, atau kami merasakan gatal yang sangat di wajah dengan make-up tebal, tapi kami bahagia. Ya, karena penonton tertawa melihat aksi kami, bahkan anak-anak juga mau memberanikan dirinya bersalaman dengan kami. Mereka bahagia, adalah nilai lebih dalam pekerjaan ini. Tentunya selain honor sewa jasa.



Dan aku menikmati menjadi badut. Meskipun ibu sering memintaku untuk mencari pekerjaan lain. Tampaknya beliau risih dengan profesiku yang sering jadi gunjingan dan bahan tertawaan di kampung.



"Bu, kalau ada pekerjaan lain yang aku cocok, baru aku berhenti," ucapku malam itu, saat ibu menyuruhku mencari pekerjaan lain untuk kesekian kalinya.



"Tapi Nak, ibu sudah tidak tahan dengar omongan tetangga." Ibu akhirnya mengungkapkan isi hatinya dengan nada bicara yang terdengar bergetar.



"Sudahlah Bu. Jangan jadikan hati apa kata orang. Yang penting ini halal," kataku sambil mengangkat tas berisi kostum badut untuk kusimpan di dalam kamar. Saat kututup pintu kamar, kulihat ibu tertunduk lesu. Bukan maksudku menyakiti hati ibu, tapi menjadi badut itu lebih baik daripada aku menganggur.



Begitulah kira-kira profesiku selama dua setengah tahun ini. Bergabung dengan mas Fajar dan teman-temannya yang solid, membuatku betah. Namun tiga bulan ini kami sepi job. Mulai banyak orang yang memilih menjadi badut. Kostum mereka pun semakin beragam daripada milik kami yang hanya itu-itu saja. Alat-alat mereka pun juga banyak, menyesuaikan penampilan yang lebih kreatif daripada kami. Kami terlena, dengan apa yang sudah kami hasilkan selama ini. Istilah manusia tak pernah puas dan mudah bosan, ternyata benar. Zona nyaman sudah melenakan kami sehingga kami lupa bahwa menjadi badut pun juga perlu meningkatkan kreatifitas.



Tak tahan dengan penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, dua anggota kami memutuskan mencari pekerjaan lain. Kami menjadi semakin terpuruk, tak lagi saling mendukung. Membuatku bimbang, apakah aku harus mencari pekerjaan lain ataukah tetap bertahan dengan mas Fajar dan mas Didin.



"Lebih baik kita bubar saja." Mas Fajar memberikan jalan keluar yang menyakitkan. "menjadi badut sekarang, ternyata tak memakmurkan," lanjutnya, sambil membelakangi kami, berpura-pura merapikan peralatan yang tak berserakan.



Aku pun ikut menyerah seperti mas Fajar dan mas Didin. Lalu kami benar-benar berhenti menjadi badut. Aku kembali menganggur dan kembali bersahabat dengan jalanan untuk mencari pekerjaan. Bertandang dari gerbang pabrik satu ke gerbang pabrik yang lainnya. Dua alasan lamaranku ditolak, pertama karena aku tak memiliki pengalaman kerja dan kedua karena aku bukan fresh graduation. Sepertinya banyak pabrik sekarang yang menggunakan tenaga 'anak baru lulus' dengan alasan mereka mau dibayar dengan gaji murah. Ah, tak pabrik tak apa. Kudatangi satu per satu rumah.



"Maaf Mas, kami butuh perempuan. Soalnya buat bersihkan rumah." Begitulah kira-kira kalimat penolakan yang aku terima.



Siang itu terik sekali. Keringatku berlomba keluar dari lubang-lubang kulit karena angin tak satu pun mau menerpa. Saat kurogoh kantong celanaku, tak ada receh satu pun. Pun juga dompetku, nihil. Padahal di ujung jalan ada gerobak es cincau yang juga menjual gorengan murah. Sebenarnya lumayan untuk mengganjal perut yang dari pagi hanya terisi tiga tempe mendokan buatan ibu. Aku benar-benar lapar.



Tuhan, maafkan aku. Abah tak pernah mengajarkan aku meminta-minta. Tapi kali ini, aku sudah tak kuat lagi.



Aku kali ini pasrah. Berdiri di depan sebuah toko kelontong yang ramai pengunjung, kemudian kuangkat tanganku untuk meminta sedikit sedekah dari mereka. Mungkin wajahku yang sudah pucat atau penampilanku yang kebetulan sudah kucel, dengan mudahnya mereka memberiku sedekah dan saat kukumpulkan, hasilnya lumayan untuk memberi sekantong plastik gorengan.



"Alhamdulillah." Aku bersyukur masih ada yang welas padaku.



Tiap hari kudatangi lagi rumah-rumah, dan kali ini lokasinya lebih jauh dari biasanya. Tetap sama, mereka melontarkan jawaban yang sama. Penolakan. Begitu berulang-ulang hingga jalanku mulai terseok-seok karena tak ada lagi tenaga. Aku pun kembali meminta-minta. Kali ini tak hanya satu toko kelontong, tapi tiga. Tentunya receh yang kudapat pun semakin banyak daripada sebelumnya. Kali ini, tak hanya sekantung plastik gorengan yang kubeli, tapi juga empat bungkus nasi campur.



Nikmatnya mendapat uang secara instan dengan meminta-minta ternyata membuatku ketagihan. Kutaruhkan tingkat maluku pada jumlah uang yang kudapatkan dari meminta-minta. Ibu seringkali bertanya darimana kudapatkan uang untuk membeli gula, beras atau makan malam kami.



"Bu, yang penting uang itu halal." Hanya itu saja jawabanku. Ya, halal. Meskupun aku tahu kalau meminta-minta kurang dianjurkan dalam agamaku. Tapi aku tak malas. Aku sudah berusaha sekuat tenaga mencari pekerjaan kesana-kemari.



Beginilah rutinitasku sekarang. Berlagak menjadi peminta.



Namun, suatu malam, ibu dan Nina menghampiriku.



"Dino, ibu kali ini benar-benar gerah dengan omongan tetangga." Ibu membuka pembicaraan kami dengan keluhan, seperti biasanya.



"Apalagi Bu?" tanyaku dengan suara kurendahkan. Mencoba tak kesal dengan sikap ibu yag suka sekali menggubris omongan tetangga.



"Ada yang melihat Mas Dino mengemis."



Aku tersontak dengan jawaban adik pertamaku itu. Sempat aku terdiam, meskipun hanya sejenak "Kamu percaya?" tanyaku pada Nina. Dia diam, nampak ragu akan menjawab ya atau tidak.



"Tapi Mas.." ucap Nina, tapi urung dilanjutnya.



"Tapi apa?" tanyaku.



"Tapi tak hanya satu dua orang yang bilang, Mas. Bahkan bu Satri dari RT sebelah juga bilang ke aku."



"Bahkan bu Yusuf pun menegur ibu," sahut ibu dengan mencondongkan badannya ke depan dan meletakkan tangan kanannya di dada.



"Menegur? Untuk apa?" tanyaku meremehkan, menutupi degup jantungku yang kian kencang.



"Menasehatimu supaya kamu tak mengemis lagi," ucap ibu sambil menyentuh telapak tanganku.



"Ibu percaya padanya?"



"Nak, bu Yusuf adalah orang baik dan jujur yang paling ibu kenal," jawab ibu, sepertinya mencoba tak memihak siapa-siapa.



Degup jantungku pun sudah tak lagi terdengar, mendadak kepalaku berat rasanya, tubuhku kaku, telinga dan mataku sepertinya sudah tak lagi berfungsi. Tanpa kusadari, aku menangis kencang di pangkuan ibu.



"Maafkan aku, Bu. Semua itu kulakukan supaya aku tak menjadi beban ibu. Supaya kita tak lagi kelaparan saat malam.Kusampaikan alasan-alasan yang selama ini memang menjadi ganjalan di pikiranku.



Nina menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sedangkan ibu terdiam mematung. Keduanya masih tak percaya dengan apa yang kusampaikan tadi.



"Abah dan ibu tak mengajarimu meminta-minta, Dino!"ucap ibu dengan terisak-isak. Semakin ibu kencang menangis, aku pun juga semakin kencang menangis.



Dan malam ini kami tidur dengan bermuram hati.



***



"Kau tahu, masih banyak cara mencari uang," kelakar pak Syafrul saat dia bertanya tentang gosip tetangga yang sudah kadung tersebar. Aku diam, berpura-pura memandang halaman mushola yang kering.



"Kamu anak baik, karena Abahmu baik," kata pak Syafrul sambil menepuk bahuku. "Aku yakin, Dino, meminta-minta bukanlah ajaran Abahmu."



Kudengarkan rangkaian kata pak Syafrul dan membenarkannya. Sudah tak ada tenaga lagi bagiku untuk mengelak, kepalang malu.



Beberapa hari kemudian, kubulatkan tekad menemui mas Fajar di rumahnya. Berharap mas Fajar mau diajak kembali pentas sebagai badut. Aku disambutnya, dengan tangan terbuka dan telinga yang bersedia mendengarkan kisahku. Dan kami berdua kembali bertekad menjadi badut, meskipun saingan sudah tak terhitung jumlahnya. Karena akhirnya kami menyadari, bahwa menjadi badut adalah profesi yang kami suka.

PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1

(Cerfet #MFF1) : Gejolak Masing-Masing Hati

| on
Jumat, Oktober 18, 2013
credit

CERITA SEBELUMNYA :
Satu | Dua | Tiga | Empat | Lima | Enam | Tujuh | Delapan | Sembilan

***

"Kamu panggil dia apa, Al? Mama?" tanya Dio pada Alya. Masih dengan rasa kaget yang luar biasa menghujam, dia menoleh pada Ratih. "Dia anakmu?"

Alya dan Ratih sama-sama terdiam. Bertanya pada masing-masing hati yang tak mungkin memberikan jawaban pasti. Ketiganya bergejolak, namun saling keras berusaha menutupi tingkah yang semakin salah. Dari ketiganya, hanya Ratih yang tak memahami bahwa nyatanya ada benang kusut melingkari pinggang mereka bertiga dengan erat.

"Oh iya Dio, Alya ini anakku." Ratih menjelaskan dengan masih menyungging senyum. Mengelus-elus lengan atas Alya. "Anakku satu-satunya. Anak kebanggaanku."

Alya dan Dio saling pandang, tak lama. Kikuk.

"Alya ini baru mulai kuliah S2, lho. Lulus S1-nya barusan saja. Sebenarnya kusuruh magang dulu di tempatku, atau setidaknya kerja di mana gitu. Tapi dia ngotot pengen kuliah lagi. Ya sudah."

Alya menoleh pada Ratih, memeluk pundaknya kemudian menciumnya. "Ma, udah ah. Malu sama pak Dio." Alya pura-pura merajuk dan menggunakan kata 'pak' yang terasa mengganjal di lidahnya.

"Untuk apa malu, Sayang? Kalau nyatanya memang kamu seperti itu?"

Mendapat pertanyaan seperti itu dari Ratih di depan Dio, membuat Alya dongkol. Selama dirinya dekat dengan Dio, dia selalu berusaha untuk menjadi perempuan yang berani dan mandiri. Karena dia menyadari perbedaan umur di antara mereka haruslah terhubung oleh sikap yang tak kekanak-kanakan.

"Oh ya, kalian sudah saling kenal?" Ratih akhirnya bertanya pada Dio dan Alya. Menoleh bergantian pada kaduanya. Pertanyaan yang akhirnya muncul juga, tapi bukanlah pertanyaan yang harus ditunggu.

Alya salah tingkah, pun juga Dio. Wajah Alya nampak kegugupan, matanya berkedip-kedip, mulutnya membuka-menutup seolah hendak mengucapkan sesuatu namun bimbang.

"Ng, kami.." ucap Alya sambil menatap Dio sesaat.

"Beberapa kali Alya meminta perusahaanku untuk menjadi sponsor di kegiatan perkuliahannya. Dia perempuan yang menonjol, energik. Lebih menarik perhatian daripada teman-teman perempuannya. Haha.." Dio menjelaskan dengan diselingi candaan. Mencairkan suasana yang sebenarnya membeku namun tak ketara.

"Ya, Alya memang energik. Seperti Papanya," ucap Ratih dengan senyum lebar. Alya ikut tersenyum, kemudian mengaitkan lengannya di pinggang Ratih dan menaruh kepalanya dipundaknya. Sedangkan Dio, hanya bisa memoles senyum seapik mungkin. Menutupi cemburu yang ternyata masih tersisa meskipun hatinya sudah beku karena cinta yang tak berjalan mulus.

"Ini lho Al, teman yang pernah Mama ceritakan dulu." ucap Ratih tiba-tiba sambil mengerlingkan mata. Alya tersenyum, dibuat-buat. Karena sejak awal dia mengetahui bahwa laki-laki yang ada di buku harian mamanya adalah Dio, hatinya selalu gundah.

"Kalian pernah membicarakan aku?" tanya Dio, sambil memiringkan kepalanya saat melirik Ratih. Namun Ratih hanya tertawa ringan.

"Urusan wanita ya." kilahnya. Kemudian Ratih dan Dio bersama tertawa, meskipun tak terbahak-bahak. Membuat cemburu muncul di pikiran Alya.

"Udah yuk Ma, berdiri di sini. Nggak seru tuh pestanya ditinggal." Alya melepas pelukannya dan menarik Ratih menuju tengah ruangan. Dio mengikuti, namun tak lagi meletakkan lengannya di pinggang Ratih yang masih langsing meskipun wajahnya sudah nampak ada keriput.

Suasana pesta semakin semarak meskipun malam sudah semakin larut. Penampilan dari musisi jalanan dan sorakan pengunjung pesta, menambah riuhnya pesta dan membuat adrenalin meningkat. Beberapa orang mulai menggoyangkan tubuhnya dan tak mempedulikan peluh yang pelan-pelan meluncur dari tubuh bagian atas. Ratih menikmati malam ini. Selain disebelahnya berdiri laki-laki idaman hatinya, pun juga karena lama Ratih membentengi diri dari riuhnya dunia dan memilih menenggelamkan diri dalam berkas-berkas kasus para kliennya.

"Ma, aku ambilkan minum ya?" Alya menawarkan bantuan pada Ratih. Dia sebenarnya tak ingin berlama-lama di samping dua orang terdekat dalam hidupnya itu. Ada cemburu yang belum matang.

Alya sengaja tak mengambilkan cepat-cepat minum untuk Ratih. Yang ingin dilakukannya sekarang adalah memperhatikan mamanya dan Dio. Gestur tubuh keduanya yang sejenak kaku dan saling membatasi, sejenak lagi tarik-menarik namun masih malu. Tingkah mereka seperti dua kekasih yang lama tak bertemu namun tak segera mengurai kerinduan. Alya bukan anak kemarin sore yang tidak menyadari bahwa mamanya sedang bahagia berjumpa kembali dengan lelaki pengisi masa lalunya itu.

"Alya, kok bengong?"

Alya menoleh, Salsa -sahabat karibnya- sedang berdiri di samping seorang musisi jalanan yang tadi dia lihat tampil dengan memukul genderang.

"Hai Sa."

"Keluar yuk. Bosan." Salsa mengajak. Tak perlu waktu lama Alya menyetujui. Dirinya sekarang hanya ingin keluar dari hiruk pikuk pesta. Meninggalkan mamanya dan Dio dalam cengkrama kebahagiaan. Pula untuk menampik kesedihan yang merajam hatinya.

Sekitar lima menit kemudian Ratih menerima pesan singkat dari Alya.

Ma, aku balik duluan ya.

Dan sekitar sepuluh menit kemudian, Dio menerima pesan singkat dari Alya yang membuatnya kaget luar biasa.

Meskipun aku tahu mama adalah masa lalumu, tak akan kuserahkan kamu begitu saja padanya.

***

Tongkat estafetnya sekarang kuberikan pada Mbak Carra ya. DL 21 Oktober 2013 ^^

(Flash Fiction) MFF #29 : 27 Maret

| on
Jumat, Oktober 11, 2013
credit

James memperhatikan ruangan di lantai bawah ini. Tidak terlalu luas, penuh dengan rak-rak buku berukuran besar yang tersusun rapi di sisi-sisi ruangan. Dan sebuah rak dengan tinggi sepinggang laki-laki dewasa yang terisi dengan buku-buku cerita anak-anak. Beberapa bukunya sudah tak rapi lagi, lecek di mana-mana karena seringnya dibaca oleh si pemilik toko. Disentuhnya rak yang sebenarnya masih tampak kokoh, namun sayangnya catnya sudah mulai mengelupas.

"Aku tak ingin mereka membongkar toko buku ini, James. Tempat ini terlalu berharga untuk kami," kata Emely sambil menyentuh pundak nenek Jo.

"Tapi toko ini sepi pengunjung akhir-akhir ini, Emely." James memperjelas situasi yang sedang dialami Emely dan nenek Jo saat ini. Emely sebenarnya membenarkan ucapan James, namun dalam hatinya tetap tak ingin toko buku ini pindah tangan.

"Semua karena mereka mendirikan toko buku yang lebih menarik,"kata Emely sambil memandang di seberang jalan. Di sana ramai, di sebuah toko buku besar yang lebih lengkap koleksinya dan sudah tiga minggu ini menggelar diskon sejak grand openingnya.

Nenek Jo berjalan menuju Emely, menyentuh punggungnya sejenak kemudian meninggalkan mereka berdua untuk mengurus buku-buku yang barutiba, yang hendak mereka jual hari ini. Emely memandang nenek Jo dengan pandangan sedih. Dia memahami perasaan nenek Jo jikalau toko buku ini akan benar-benar dirobohkan oleh para pengembang.

"Mungkin ada baiknya kamu menerima saran Julian,"ucap James dengan sangat hati-hati.

"Tidak! Tidak akan pernah!" tukas Emely kasar. Dia marah pada usulan James.

"Emely, tenanglah." James menyentuh lengan Emely lembut. "Cobalah berfikir jernih sejenak. Hutang kalian pada bank akan bisa kalian tutup dengan cek dari Julian."

"James, oh tidak! Aku masih belum bisa membayangkan bagaimana sakitnya kami kehilangan toko buku ini." Emely mulai terisak.

"Tapi kalian bisa membuka toko buku baru di sana," ucap James sambil menunjuk sebuah mall yang sedang dalam proses pembangunan.

"Dengan konsep toko buku seperti di mall yang juga belum tentu akan menyenangkan?"

"Kau terlalu menutup diri dengan perubahan, Emely."

"Aku tak menutup diri, James! Hanya saja toko buku ini sudah jadi hidup kami."
Bersamaan dengan Emely menghembuskan kalimatnya, James memasukkan tangannya ke saku celana. "Kapan batas pembayaran hutangmu?"

"27 Maret."

"Dua minggu lagi," batin James.

"Dan sebelum 27 Maret, aku akan usahakan apapun untuk menutup hutang itu." Emely berucap sambil meninggalkan James di tengah toko, yang biasanya digunakan Emely untuk membaca dongeng bagi para pengunjung.

Saat keluar toko, ponsel di dalam jaket James berdering. Ada nama Julian tertera.

"Sedang kuusahakan. Tak mudah mengubah keputusannya. Beri aku waktu lagi." James memohon tambahan waktu pada Julian.

"Persulit akses peminjaman Emely pada bank lain. Itu kuasamu, Julian. Akan kubuat dia menyetujui perjanjianmu."

(Cerpen) Bayangan

| on
Senin, September 30, 2013
credit
Kalian pernah membaca serial berjudul 'Wife' karya Heidy Will? Serial yang menceritakan tentang seorang wanita bernama Maria yang memergoki suaminya selingkuh dengan seorang coustemer service di sebuah bank. Serial yang ternyata digemari oleh para wanita lajang dan ibu-ibu muda.

Ah, ceritanya sudah banyak terjadi. Tentang perselingkuhan. Namun, Heidy menceritakannya dengan sangat mengalir sekali. Saat aku membacanya pertama kali, seolah akulah Maria, si wanita menyedihkan itu. Penggunaan diksi yang baik, teratur dan tertata rapi, membuat banyak orang tak akan menyesal mengeluarkan uang untuk serial yang sudah buku kedua itu.

Dan aku menggemari Heidy. Sangat! Tulisan-tulisan Heidy yang begitu mempesona, mampu membuatku mabuk dan cinta padanya. Aku selalu membayangkan dapat bertemu dengannya suatu hari nanti, memeluk dirinya, menulis bersamanya, atau bahkan kami minum teh hangat bersama di sore hari. Ups, aku terlalu berlebihan tampaknya. Tapi tidak, aku benar-benar jatuh cinta pada tulisan Heidy sehingga membuatku tergila-gila pada sosoknya.

Tapi jangan dikira aku penggemar yang brutal, yang selalu menteror kehidupan idolanya. Tidak. Jatuh cintaku, kutunjukkan dengan membuat karya semirip mungkin dengan karya milik Heidy. Bukan idenya, tapi penuturan dalam novel. Gaya menceritakan, kutiru dari Heidy. Tiga dari lima novelku, penulisannya mirip sekali dengan gaya penulisan Heidy. Meskipun penjualannya tak sebaik penjualan novel Heidy, tapi aku puas. Seolah Heidy memujiku, memelukku dan menuangkan wine di gelasku atas keberhasilan pencapaianku.

Gila! Memang! Beberapa teman penulis mengatakan kalau aku terlalu memuja Heidy. Tak baik untuk karir kepenulisanku. Namun aku tak peduli. Karena aku yakin, gaya penulisan Heidy tak akan tergerus oleh waktu yang nyatanya semakn tua.

Dan yang paling aku dambakan adalah bertatap muka langsung dengan Heidy. Mungkin itu adalah salah satu impian yang terlalu muluk untukku. Aku tinggal di Inggris, sedangkan Heidy di Amerika. Meskipun lima novel sudah kutelurkan, namun tetap saja tak akan cukup royaltinya untuk sekedar meminta tanda tangan Heidy langsung.

Hingga pada suatu sore aku menerima sebuah email dari Heidy yang meminta kesedianku menemui dia, di rumahnya. Oh, itu adalah sebuah rejeki dari Tuhan yang paling aku tunggu. Tanpa berfikir panjang lagi, kubalas email itu dengan jawaban setuju.

Dan, di sinilah aku sekarang. Di rumah Heidy. Mengetik draft novel serial Heidy. Oh tidak, tugasku bukan mengetik saja tapi juga membuat kelanjutan novel serial untuk Heidy. Sepertinya, Heidy tampak bodoh menyerahkan tugas ini padaku yang masih amatir. Tapi nyatanya demikian. Heidy memberi ide, aku yang membuat draft dan pengetikan hingga selesai. Silahkan katakan aku sebagai penulis bayangan pada novel Heidy.

Aku masih menyimpan memori saat dia mengutarakan maksudnya malam itu, dengan tutur kata yang tampak tak dibuat-buat. "Aku harap kesedianmu melanjutkan cerita untuk serialku."

Aku sangat terkejut. "Wife?" tanyaku dengan mata masih mendelik. Heidy mengangguk, membuatku menarik nafas. Antara takjub, bahagia dan ketidakpercayaan.

"Kenapa, Heidy?"

Heidy bangkit dari kursinya dan membetulkan posisi selendang lebar yang menutupi tubuhnya. Memandang langit malam yang meniupkan angin dingin. "Aku terkena diabetes. Dan, Paula membutuhkanku."

Kulirik Paula yang saat itu sedang memainkan balok-balok kayu di atas permadani. Down syndrome yang diidap Paula, membuatnya tak mampu melakukan apapun tanpa pengawasan intens. Aku tergugu, tak ada lagi alasan menolak tawaran Heidy.

"Aku beri kau ide, tulislah. Akhiri," ucap Heidy tanpa memandangku.

"Tapi, tapi, aku hanya penulis amatir. Tak pantas kau suruh aku membuat endingnya," ucapku terbata-bata. Ada kecamuk di hatiku. Antara bahagia dengan tawaran Heidy namun tak rela jika serial 'Wife' harus berakhir.

"Aku sudah pelajari profilmu, Kim. Dan hanya kamu yang cocok."

"Lalu para penggemarmu? Aku takut kalau mereka tahu tentang ini,"

Heidy tersenyum lalu kembali duduk. "Para penggemarku hanya ingin kelanjutan serial ini terbit cepat," ucap Heidy sambil menyesap wine. "aku tahu seberapa besar antusias mereka."

Aku diam sejenak, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang muncul jika kuterima pekerjaan ini. Namun tetap saja, memikirkan banyak kemungkinan itu mengalahkan keinginanku menyabet kesempatan langka ini.

Heidy menyentuh punggung tanganku pelan, membawaku kembali pada kenyataan, terhempas dari lamunan. Kutatap wajahnya yang tirus -mungkin diabetes membuatnya semakin kurus- lalu aku mengangguk setuju.

Heidy tersenyum lalu merogoh sesuatu dari balik selendangnya. Kilatan cahaya membuatku terkejut. Pisau! Kutegakkan dudukku, kuberi jarak tambahan dengan Heidy saat dia menaruh pisau itu di atas meja.

"Buat Maria mati," Heidy menegaskan maksudnya. Aku begidik. "cerita ending yang menarik akan menyamarkan bahwa kelanjutan serial ini bukan aku yang buat."


***
Cerpen ini diikutkan pada kontes menulis Ngasih Hadiah Harry Irfan. Dan berdasar fiksi mini Harry Irfan : “KAU YAKIN INI ENDING-NYA?”. Ia mengangguk sembari memberiku sebuah pena, dan sebilah pisau.

Custom Post Signature

Custom Post  Signature